Oleh: Muhammad Hatta Taliwang, Aktivis Politik.
Hampir semua parpol dan ormas melakukan pemilihan Ketumnya lewat proses perwakilan/musyawarah.
Saat kongres atau Munas mereka mengirim utusan/wakilnya datang dalam posisi mewakili Pengurus Daerah atau Pengurus Provinsi. Mereka bermusyawarah di Jakarta atau di tempat Kongres/Munas lalu memilih Ketumnya baik dengan voting maupun dengan suara aklamasi. Mereka puas dengan memilih cara demikian.
Partai dan ormas tak pernah mengundang semua pemegang kartu anggotanya datang ke bilik suara, untuk mencoblos(voting) saat memilih Ketumnya.
Mengapa pengurus pengurus partai termasuk yg terpilih menjadi anggota DPR mempertanyakan sistem, memilih Presiden dengan Musyawarah di MPR, padahal cara demikian yang mereka tempuh untuk mendapatkan Ketum Partai/ Ormasnya? Mempersoalkan dengan berbagai “argumen akademis” bahwa cara Musyawarah itu tidak demokratis, menyunat suara rakyat, bisa menimbulkan pemimpin otoriter, dll.
Setiap hari mereka menikmati hasil Musyawarah partai/ormasnya dalam wujud seorang Ketum yang memimpin mereka? Karena memilih pemimpin dengan cara perwakilan musyawarah itu telah mendarah daging dalam kultur sosial dan politik kita, sudah menjadi budaya bangsa, bahkan pernah dipraktekkan dalam memilih Gus Dur sebagai Presiden, memilih Megawati Soekarnoputri dan Hamzah Haz sebagai Wapres di awal reformasi. Mengapa sekarang mesti memilih Presiden “wajib” dengan cara voting one man one vote, demi memuaskan selera pendukung liberalisme politik?
Padahal cara liberal itu sudah terbukti sangat buruk dampaknya terhadap nasib negara kita? (lihat: Keburukan/Kelemahan Sistem Pilpres Langsung ala Indonesia, Muhammad Hatta Taliwang).
Ibarat ikan biasa hidup di air tawar terus disuruh berenang di air laut.Tentu keblinger dampaknya. Semoga intelektual yang terlalu semangat mendukung sistem liberalisme dan melecehkan sistem yang dibangun pendiri negara yang tertuang dalam Sila Ke 4 Pancasila, Perwakilan Musyawarah bisa menyadari.
Editor: Suparman













