Oleh: Bhre Wira, Pengamat Sosial.
Gelombang pemberontakan ketidakpuasan Gen Z di berbagai belahan dunia dewasa ini, yang menyebar dari Bangladesh, Srilanka, Indonesia, Nepal, Prancis, dan kini Filipina, sangat menarik untuk dicermati. Terutama untuk mencari tahu, mengapa golongan ini memberontak, seperti apa sifat pemberontakannya, dan bagaimana dampaknya di kemudian hari terhadap tatanan baru.
Pertama yang harus disadari, eksistensi dan kesamaan pola dan sifat hidup gen Z sejatinya merupakan fenomena global dan merupakan implikasi globalisasi yang sudah berjalan sejak abad 20. Gen Z ini merupakan generasi dari umat manusia yang melintasi batas-batas nasional akibat meluapnya peran internet yang memungkinkan mereka mengakses informasi ke seluruh dunia dan secara unik, terinteraksi secara global dan realtime. Di samping itu, dengan kemajuan dunia ICT (Teknologi Informasi dan Komunikasi) hingga perkembangan Kecerdasan Buatan yang semarak dewasa ini, membuat manusia dewasa ini sangat mahir mendapatkan dan mengelola informasi. Menutup informasi dan mengelabui publik dari informasi, merupakan hal yang sia-sia. Dan di tengah perkembangan ini semua, terdapat Gen Z yang disebut penduduk asli dunia digital (digital native) yang belakangan ini mulai menunjukkan taring politiknya, dengan tumbangnya rezim korup Nepal.
Transisi Generasi
Mungkin, generasi lama yang lahir di abad 20 dengan karakteristiknya yang otoritarian, mendewakan otoritas dalam setiap segi kehidupan, mengejar tatanan yang tertib, hirarkis dan suka mengkonsentrasikan kekuasaan dalam bidang apapun, masih bercokol di puncak-puncak kekuasaan. Tapi celakanya, para penguasa lama ini secara tak terelakkan berhadapan dengan generasi anti tesa pola mereka. Itulah gen Z dan generasi setelahnya, yang terbiasa hidup tanpa hirarki, mengesampingkan otoritas, terdesentralisasi, bersaing secara fair, membenci tirani dan korupsi, dan mengedepankan keotentikan dan apa adanya. Sifat hidup mereka ini merupakan pantulan langsung dari kebiasaan mereka yang hidup serba mengandalkan teknologi informasi dan komunikasi yang mempertaruhkan akurasi dan validasi. Lihatlah jika Anda memesan barang di aplikasi market place, validasi dan akurasi merupakan jantung dari pertukaran secara jarak jauh dan online tersebut. Itulah kehidupan gen z yang kini membuat berbagai penguasa di berbagai negara kecut dan hawatir.
Uniknya, banyak penguasa di hadapan gen z dan gen setelah gen z itu mengira dunia masih berada di abad 20. Maklum, para penguasa ini kebanyakan berasal dari generasi abad 20. Kalau pun ada penguasa sebaya dengan gen z, sebagian merupakan hasil plot dari generasi abad 20 sehingga dianggap nepo baby (anak hasil nepotisme, pewaris mindset abad 20. Nepo baby ini dipandang negatif dan musuh bagi gen Z. Mungkin contoh terbaik dari hal ini ialah Wakil Presiden Indonesia, Gibran Rakabuming.
Asal Muasal Gen Z
Gen Z tidak terlepas dari perjalanan kehidupan pendidikan mereka yang sudah mengenal informatika. Bahkan di Indonesia, sudah sejak lama di tingkat Sekolah Dasar hingga Lanjutannya, kurikulum sudah mengajarkan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Jadi generasi ini memiliki literasi yang kuat terkait TIK.
Seperti yang diketahui, informatika mulai diakui sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri sekitar pertengahan abad ke-20, seiring dengan perkembangan komputer elektronik pertama seperti ENIAC. Namun, penetapan resmi dan penyebaran istilah serta departemen ilmu ini di berbagai institusi pendidikan terjadi secara bertahap selama beberapa dekade berikutnya, misalnya di Indonesia sejak tahun 1985 dengan pembukaan program studi di universitas.
Latar Belakang Perkembangan Informatika
Sejarah informatika sangat terkait dengan perkembangan komputer elektronik pertama di awal abad ke-20, seperti ENIAC pada tahun 1945. Setelah itu, teknologi komputer berkembang pesat, menjadikannya alat penting di berbagai industri pada tahun 1960-an. Periode ini juga menyaksikan kemunculan ilmu informasi, yang menjadi fondasi bagi informatika modern dengan fokus pada pemrosesan, penyimpanan, dan pengambilan informasi.
Penetapan Sebagai Disiplin Ilmu
Setelah melalui perkembangan lebih dari 20 tahun, informatika mulai diakui secara luas sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
Sebagai Program Studi
Di Indonesia, pembukaan program studi S1 Ilmu Komputer pada tahun 1985 di beberapa universitas, meskipun awalnya bernama Teknik Komputer, menandai langkah penting dalam menjadikan informatika sebagai bidang studi formal dan berdiri sendiri.
Nama program studi ini kemudian diubah menjadi Teknik Informatika pada tahun 1996 di banyak institusi seperti Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), menegaskan kedudukannya sebagai disiplin ilmu yang terpisah.
Informatika mulai diajarkan sebagai disiplin ilmu di universitas pada awal dekade 1960-an, sejalan dengan perkembangan komputer digital pertama dan teori komputasi modern. Kata “informatika” pertama kali diciptakan oleh ilmuwan Jerman Karl Steinbuch pada tahun 1957, dan kemudian dikembangkan oleh Philippe Dreyfus pada tahun 1962.
Kecerdasan Buatan (AI) Sebagai Revolusi Berikutnya
Kecerdasan buatan ini menimbulkan dunia digital makin berkembang pesat. Misalnya saja, kita tidak perlu bersusah-susah menelusuri perpustakaan-perpustakaan untuk mendapatkan dan mengolah informasi seperti yang kita butuhkan. Seperti Prompt, dalam konteks kecerdasan buatan (AI), prompt adalah instruksi, pertanyaan, atau masukan yang diberikan kepada model AI untuk menghasilkan respons yang diinginkan. Prompt bisa berupa teks, gambar, atau suara, dan menentukan sejauh mana AI memahami dan mengeksekusi tugas. Kualitas dan kejelasan prompt sangat penting karena memengaruhi kualitas dan relevansi output AI, sehingga menyusun prompt yang tepat merupakan keterampilan yang disebut prompt engineering.
Intinya adalah generasi Z memiliki keberlimpahan dalam mengakses informasi dan mengelola informasi.
Generasi baru ini, seolah ingin menyampaikan pada penguasa, “Nggak ada gunanya kamu tipu kami, kamu sembunyikan informasi. Kami bisa tahu siapa kamu. Darimana kamu. Dimana kamu. Berapa kamu. Dan bagaimana kamu.*
“Ilmu teknik informatika bagian dari sehari-hari kami. Penyamaran informasi, sangat mudah kami identifikasi. Karena itu, kami sangat mencintai keaslian. Transparansi. Kebermaknaan dan apa adanya.”
Tren Otentik, Valid dan Akurat
Gen Z ini membawa, mengaprsiasi dan mempromosikan budaya otentik, valid dan akurat. Gejala ini tentu positif bagi peradaban.
Tatkala citra virtual seseorang bertolak belakang dengan fakta di lapangan, maka Gen Z kehilangan apresiasi dan malah menelanjanginya.
Dalam kasus korupsi haji yang menyeret figur-figur Islam terkemuka, bagi generasi yang melek internet dan big data, hal itu dapat meruntuhkan secara cepat citra para pemuka tersebut. Apalagi, jika pembentukan citra positif dari figur tersebut berdasarkan eksploitasi basis followers, sibscribers dan algoritma, maka kemungkinan kredibilitas dan popularitas yang dibangun bertahun-tahun oleh figur tersebut akan merosot drastis akibat kasus menyerempet perkara korupsi. Gen Z akan nyeletuk, “Omong doang, lhu. Emang gue bisa dikadalin?” Itulah yang dialami oleh banyak tokoh yang kini sudah redup dan sayup-sayup. Gen Z merupakan pencinta dunia yang valid, akurat dan otentik tanpa manipulasi.
Tentu saja, fenomena gejala politik gen Z dan generasi setelah itu, masih terus berkembang dan memerlukan penelitian yang luas dan dalam.















