Oleh: Eka Erwansyah,
Staf Dosen Universitas Hasanuddin.
Keputusan Sorbonne University untuk tidak lagi mengikuti Times Higher Education (THE) World University Rankings mulai 2026 mengejutkan banyak kalangan. Bagaimana tidak, Sorbonne adalah salah satu universitas ternama di Eropa, pusat ilmu pengetahuan yang berakar dari abad pertengahan, sekaligus ikon pendidikan tinggi Prancis.
Selama ini, universitas sekelas Sorbonne selalu diasosiasikan dengan reputasi global, dan ranking internasional menjadi salah satu “panggung” utama untuk menampilkan kualitasnya.
Namun, Sorbonne memilih keluar dari panggung itu. Langkah berani ini tentu menimbulkan pertanyaan: mengapa mereka mengambil keputusan seperti itu? Apa keuntungan yang bisa diperoleh? Dan apa pula risiko yang harus ditanggung?
Mengapa Sorbonne Keluar?
Dalam pernyataan resminya, Sorbonne menegaskan bahwa keputusan ini lahir dari keprihatinan mendalam terhadap cara sistem ranking bekerja. Ada beberapa alasan pokok yang mereka utarakan.
Pertama, soal transparansi dan akuntabilitas data. Sorbonne menilai indikator yang digunakan oleh THE tidak cukup terbuka dan sulit direproduksi. Artinya, hasil ranking sulit diverifikasi secara independen. Bagi sebuah universitas yang mengedepankan keterbukaan ilmiah (open science), hal ini merupakan masalah serius.
Kedua, Sorbonne menilai ranking seperti THE terlalu menekankan reputasi dan prestise, misalnya melalui survei reputasi akademik global. Indikator semacam ini sering kali bias, karena lebih mencerminkan popularitas daripada kualitas nyata. Padahal, keberhasilan mahasiswa, dampak sosial, atau kontribusi penelitian jangka panjang sering kali tak tercermin dalam angka-angka peringkat.
Ketiga, Sorbonne ingin konsisten dengan komitmen internasional yang sudah mereka ambil. Sejak 2022, Sorbonne menjadi bagian dari CoARA (Coalition for Advancing Research Assessment), sebuah koalisi yang mendorong reformasi penilaian riset. Salah satu rekomendasinya adalah menghindari penggunaan ranking sebagai alat utama evaluasi. Selain itu, Sorbonne juga mendukung Barcelona Declaration yang menekankan keterbukaan data riset.
Keempat, Sorbonne memutuskan untuk beralih dari basis data tertutup seperti Scopus dan Web of Science ke infrastruktur terbuka seperti OpenAlex. Mereka percaya bahwa data riset seharusnya dapat diakses secara bebas, diverifikasi, dan digunakan secara lebih demokratis oleh seluruh komunitas ilmiah.
Keuntungan yang Bisa Diraih
Keputusan ini tentu bukan tanpa perhitungan. Ada sejumlah keuntungan potensial yang bisa diperoleh Sorbonne.
- Menegaskan kredibilitas moral dan akademik. Sorbonne bisa tampil sebagai universitas yang tidak sekadar mengejar posisi dalam ranking, tetapi berani memperjuangkan nilai-nilai transparansi dan integritas ilmiah.
- Mendorong reformasi global dalam penilaian universitas. Jika langkah ini diikuti universitas lain, lembaga pemeringkat akan terdorong memperbaiki indikator agar lebih relevan dan adil.
- Fokus pada misi utama universitas. Tanpa tekanan mengejar skor, Sorbonne bisa lebih leluasa meningkatkan kualitas pendidikan, riset dasar, serta dampak sosial.
- Efisiensi sumber daya. Universitas dapat menghemat energi dan biaya yang biasanya dihabiskan untuk memenuhi indikator peringkat.
Risiko dan Kerugian yang Mengintai
Namun, keputusan ini tentu tidak bebas dari risiko.
- Penurunan visibilitas global. Ranking internasional masih dipakai banyak calon mahasiswa dan mitra riset. Hilangnya Sorbonne dari daftar bisa mengurangi eksposur mereka.
- Risiko salah persepsi. Keputusan ini bisa dianggap sebagai “menghindar” dari kompetisi global.
- Dampak pada rekrutmen internasional. Banyak mahasiswa mancanegara mengandalkan ranking untuk memilih universitas tujuan.
- Keterbatasan legitimasi sistem alternatif. Infrastruktur terbuka seperti OpenAlex masih baru dan belum memiliki penerimaan luas.
Implikasi bagi Dunia Pendidikan Tinggi
Apa yang dilakukan Sorbonne bisa menjadi titik balik dalam diskusi global mengenai bagaimana kita menilai universitas. Selama ini, peringkat dunia sering dianggap “kitab suci” oleh publik, meski akademisi tahu betul bahwa indikatornya tidak sempurna.
Jika langkah Sorbonne diikuti universitas lain, terutama di Eropa, maka lembaga pemeringkat seperti THE, QS, atau Shanghai Ranking akan dipaksa berbenah. Mereka harus memperbaiki indikator agar lebih transparan, lebih seimbang, dan lebih relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Lebih jauh lagi, keputusan ini bisa mendorong pemerintah, lembaga pendanaan, bahkan media untuk tidak lagi bergantung semata-mata pada ranking. Sebaliknya, mereka bisa mengembangkan sistem penilaian baru yang lebih menekankan dampak sosial, kualitas pengajaran, keberhasilan alumni, serta kontribusi jangka panjang terhadap ilmu pengetahuan.
Tantangan bagi Perguruan Tinggi Indonesia: Berdiri di Mana?
Keputusan Sorbonne juga membawa cermin bagi perguruan tinggi di Indonesia. Selama ini, banyak universitas kita masih menjadikan peringkat global sebagai tujuan strategis utama. Pemerintah pun kerap mendorong universitas masuk “Top 500 dunia” sebagai ukuran kemajuan.
Namun, langkah Sorbonne mempertanyakan hal itu. Apakah benar ranking dunia adalah tolok ukur paling tepat untuk menilai kualitas perguruan tinggi Indonesia? Ataukah kita perlu mencari ukuran lain yang lebih sesuai dengan kebutuhan bangsa?
Tantangan terbesar bagi perguruan tinggi Indonesia adalah menentukan posisi:
• Apakah akan tetap mengejar peringkat global demi visibilitas internasional, dengan segala konsekuensinya?
• Ataukah mulai mengembangkan metrik penilaian mandiri, yang lebih menekankan relevansi lokal, kontribusi pada pembangunan nasional, serta dampak sosial di masyarakat?
Indonesia bisa mengambil jalan tengah: tetap hadir di panggung internasional melalui ranking, namun sekaligus membangun sistem penilaian sendiri yang lebih kontekstual. Misalnya, bukan hanya menilai jumlah publikasi internasional, tetapi juga inovasi yang langsung menyentuh masyarakat, kualitas lulusan yang mampu bersaing di pasar kerja, dan kontribusi riset bagi kebijakan publik.
Jika tidak, perguruan tinggi kita berisiko terjebak dalam “perlombaan angka”: sibuk mengejar indeks sitasi atau posisi ranking, tetapi melupakan esensi pendidikan tinggi sebagai agen perubahan sosial dan pembangunan bangsa.
Penutup: Pertaruhan Besar Sorbonne
Keputusan Sorbonne University untuk keluar dari THE adalah langkah yang berani sekaligus berisiko. Dari sisi keuntungan, mereka tampil sebagai pelopor reformasi, konsisten dengan nilai open science, dan bisa lebih fokus pada misi sejati universitas. Namun, dari sisi kerugian, mereka harus siap menghadapi turunnya visibilitas, risiko salah persepsi, dan tantangan legitimasi standar baru.
Bagi Indonesia, langkah Sorbonne menjadi pengingat: universitas tidak boleh semata-mata bergantung pada ranking global untuk mengukur kemajuan. Kita perlu jujur menakar diri—apakah hanya mengejar angka, atau benar-benar berusaha menjadi universitas yang relevan bagi masyarakat, bangsa, dan dunia.















