Oleh: Eka Erwansyah, Pemerhati Bangsa.
Tidak ada jabatan kabinet yang lebih strategis selain Menteri Keuangan. Dialah yang mengatur napas fiskal, menentukan arah belanja negara, dan menjadi wajah Indonesia di mata pasar global. Namun, setiap Menteri Keuangan tidak datang sebagai “kertas kosong”. Mereka membawa warisan intelektual dari kampus tempat mereka ditempa.
Menariknya, tiga kampus besar—UI, UGM, dan ITB—punya ciri khas yang berbeda dalam mewarnai arah kebijakan fiskal negeri ini.
UI: Ekonomi Global dan Daya Saing Internasional
Universitas Indonesia adalah gudang Menteri Keuangan. Dari Ali Wardhana, Radius Prawiro, J.B. Sumarlin, Mar’ie Muhammad, hingga Sri Mulyani Indrawati, jejak UI begitu dominan.
Karakter yang menonjol adalah orientasi global: keterbukaan terhadap pasar internasional, disiplin fiskal, dan kepercayaan pada mekanisme integrasi dunia.
Sri Mulyani, misalnya, dikenal sebagai reformis fiskal dengan reputasi internasional. Baginya, kredibilitas APBN dan keterlibatan Indonesia dalam arsitektur ekonomi dunia adalah kunci. Menteri Keuangan dari UI umumnya percaya bahwa agar kuat di dalam negeri, Indonesia harus lebih dulu kredibel di luar negeri.
UGM: Ekonomi Kerakyatan dan Pemerataan
Dari Yogyakarta, UGM menghadirkan warna yang berbeda. Boediono dan Bambang Sudibyo menjadi contoh bagaimana ekonomi kerakyatan mendapat tempat dalam kebijakan fiskal. Ada penekanan pada keseimbangan antara pertumbuhan dan pemerataan, serta perhatian pada sektor riil yang bersentuhan dengan masyarakat.
Latar belakang historis UGM sebagai “universitas perjuangan” pasca-kemerdekaan membuat orientasi sosial begitu melekat. Di tangan menterinya, APBN dilihat bukan sekadar neraca, melainkan instrumen keadilan sosial dan pembangunan bangsa.
ITB: Ekonomi Teknis dan Stabilitas Sistem
Meski identik dengan dunia teknik, ITB tidak absen melahirkan Menteri Keuangan. Nama-nama seperti Bambang Subianto, Prijadi Praptosuhardjo, Yusuf Anwar, hingga Purbaya Yudhi Sadewa menunjukkan bagaimana pendekatan teknokratik berperan dalam fiskal negara.
Karena latar belakang eksakta, cara pandang mereka kuantitatif, sistematis, dan problem solving. Ekonomi dilihat layaknya mesin: harus dirawat, dijaga stabilitasnya, dan tetap hidup meski diterpa badai. Tak heran, di era krisis 1998, Menkeu dari ITB tampil pragmatis: fokus pada penyelamatan APBN, stabilitas rupiah, dan pengelolaan utang.
Tiga Warna, Satu Tujuan
Jika UI menatap dunia, UGM menatap rakyat, maka ITB memastikan mesinnya tetap hidup. Ketiga orientasi ini tidak untuk dipertentangkan, melainkan saling melengkapi.
Ekonomi Indonesia ibarat kapal besar. UI adalah navigator yang membaca peta global, UGM adalah pengawas yang memastikan penumpang sejahtera, sementara ITB adalah teknisi yang menjaga mesin kapal tidak mogok. Ketiganya diperlukan agar kapal bernama Indonesia selamat sampai tujuan.















